Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menghadapi sorotan tajam terkait kebijakan kontroversialnya yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk pembinaan karakter. Program ini telah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta sejumlah anggota DPR.
Latar Belakang Kebijakan
Pada akhir April 2025, Dedi Mulyadi meluncurkan program yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer sebagai upaya untuk menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab. Program ini dimulai dengan uji coba di Purwakarta pada 1 Mei 2025, melibatkan 39 peserta yang menjalani pembinaan di Resimen Armed 1/Stira Yudha, Batalyon Armed 9. Kriteria peserta mencakup perilaku kriminal, kecanduan tawuran, alkohol, dan game berlebihan, serta persetujuan dari orang tua.
Kritik dari Komnas HAM dan KPAI
Komnas HAM menilai kebijakan ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan bahwa pendidikan melalui pendekatan militeristik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ia juga menekankan bahwa TNI tidak memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pendidikan.
KPAI juga mengkritisi rencana ini, dengan Komisioner KPAI bidang pendidikan, Aris Adi Leksono, menekankan bahwa pendekatan militeristik seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah semua mekanisme perlindungan dan pembinaan anak dijalankan secara maksimal.
Dukungan dari Menteri HAM
Di sisi lain, Menteri HAM, Natalius Pigai, memberikan dukungan terhadap kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa program tersebut tidak melanggar hak asasi manusia dan lebih bertujuan untuk meningkatkan produktivitas serta kedisiplinan siswa. Pigai juga menyarankan agar kebijakan ini dapat diterapkan secara nasional jika uji coba di Purwakarta terbukti efektif.
Respons Dedi Mulyadi
Menanggapi kritik dan sorotan yang muncul, Dedi Mulyadi menyatakan bahwa ia menerima segala bentuk kritik dan saran sebagai bagian dari risiko yang harus dihadapi sebagai gubernur. Ia mengajak masyarakat untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan anak-anak berperilaku khusus di Jawa Barat.
Kesimpulan
Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi dalam mengirim siswa bermasalah ke barak militer menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sementara beberapa pihak mendukung sebagai upaya untuk menanamkan kedisiplinan, banyak yang menilai bahwa pendekatan ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan yang humanis. Ke depan, penting untuk melakukan kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak terkait sebelum kebijakan serupa diterapkan secara luas.
1. Pendahuluan
Pada awal Mei 2025, publik tanah air kembali dihebohkan dengan kebijakan kontroversial yang diterapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer untuk pembinaan karakter ini memicu pro dan kontra yang sangat luas. Selain dukungan dari beberapa kalangan, kebijakan ini juga memicu kecaman dan laporan resmi ke Bareskrim Polri oleh sejumlah lembaga dan kelompok masyarakat yang menilai kebijakan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM) dan hak anak.
Dalam artikel ini, kami akan mengupas tuntas latar belakang kebijakan tersebut, respon berbagai pihak, kritik yang muncul, proses pelaporan ke Bareskrim, serta implikasi sosial dan hukum dari kebijakan tersebut. Kami juga akan membahas pentingnya pendekatan yang tepat dalam menangani siswa berperilaku khusus dan bagaimana kebijakan publik harus berlandaskan pada perlindungan hak asasi dan kesejahteraan anak.
2. Latar Belakang Kebijakan
2.1. Profil Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi merupakan sosok politisi yang cukup dikenal di Jawa Barat. Sebagai Gubernur, ia dikenal memiliki visi kuat untuk membangun karakter generasi muda dan meminimalisir perilaku menyimpang seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan kecanduan game. Dalam berbagai kesempatan, Dedi menekankan pentingnya kedisiplinan, ketangguhan mental, dan pembinaan karakter melalui pendekatan yang berbeda.
2.2. Rencana Pengiriman Siswa ke Barak Militer
Program tersebut dimulai dengan pilot project di Kabupaten Purwakarta. Dalam uji coba awal, sebanyak 39 siswa bermasalah, yang terlibat dalam tindak kriminal, tawuran, serta perilaku merugikan lainnya, dikirim ke barak militer Resimen Armed 1/Stira Yudha. Selama pembinaan, siswa mengikuti program kedisiplinan ala militer yang ketat dengan harapan mampu membangun karakter dan mental yang tangguh.
2.3. Alasan dan Tujuan
Menurut Dedi Mulyadi, pendidikan formal di sekolah dan lingkungan masyarakat tidak cukup efektif untuk menangani siswa yang sudah berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, pembinaan karakter melalui pendekatan militeristik dianggap bisa memberikan efek jera sekaligus membentuk mental yang disiplin dan bertanggung jawab.
3. Respons dan Kontroversi
3.1. Kritik dari Komnas HAM dan KPAI
Program ini langsung mendapat kritik tajam dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komnas HAM menilai pendekatan militeristik berpotensi melanggar hak-hak anak, karena metode yang digunakan berisiko menimbulkan tekanan psikologis dan pelanggaran hak dasar anak seperti kebebasan bergerak, hak memperoleh pendidikan yang layak, serta hak untuk dilindungi dari perlakuan yang kasar.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengingatkan bahwa TNI bukanlah lembaga pendidikan sehingga tidak memiliki kewenangan memberikan pembinaan karakter kepada siswa. Pendekatan militeristik juga dinilai tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak yang dijamin dalam konvensi internasional dan undang-undang nasional.
Sementara itu, KPAI menekankan bahwa pembinaan anak bermasalah harus dilakukan melalui pendekatan yang lebih ramah anak dan manusiawi, seperti konseling psikologis, pendampingan sosial, dan pembinaan keluarga. Pendekatan militer hanya boleh dijadikan opsi terakhir dan harus sesuai dengan standar hak anak.
3.2. Dukungan dari Menteri HAM
Berbeda dengan Komnas HAM dan KPAI, Menteri HAM Natalius Pigai memberikan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa program ini tidak melanggar hak asasi manusia dan dapat dijadikan contoh bagi daerah lain dalam penanganan anak bermasalah. Menurutnya, program ini membantu membangun karakter siswa yang produktif dan disiplin sehingga mengurangi perilaku negatif di masyarakat.
4. Proses Pelaporan ke Bareskrim
4.1. Siapa yang Melapor?
Laporan resmi ke Bareskrim Polri diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat yang fokus pada perlindungan hak anak dan HAM. Mereka menilai kebijakan tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap hak anak dan melanggar UU Perlindungan Anak serta Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi Indonesia.
4.2. Isi Laporan
Dalam laporan tersebut, para pelapor menyebutkan bahwa pengiriman siswa ke barak militer tanpa dasar hukum yang kuat dan tanpa persetujuan memadai dari anak dan orang tua dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran HAM. Mereka menuntut agar Bareskrim melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap kebijakan yang dinilai diskriminatif dan merugikan masa depan anak-anak tersebut.
4.3. Respons Kepolisian
Bareskrim Polri menyatakan akan mempelajari laporan tersebut secara serius. Namun, karena kebijakan itu bersifat administratif yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, pihak kepolisian juga menunggu arahan hukum lebih lanjut dari instansi terkait sebelum melakukan langkah-langkah penyidikan.
5. Aspek Hukum dan Hak Anak
5.1. Perlindungan Hukum Anak
Indonesia telah mengadopsi berbagai regulasi dan konvensi internasional terkait perlindungan anak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 35 Tahun 2014 sebagai perubahan UU tersebut, menjamin hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) juga mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan dan pendidikan yang sesuai bagi anak tanpa kekerasan fisik maupun mental.
5.2. Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Sebagai kepala daerah, Gubernur memiliki kewajiban melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan HAM. Apabila kebijakan dinilai melanggar, maka dapat berpotensi dikenai sanksi hukum dan administrasi.
6. Dampak Sosial dan Psikologis
6.1. Dampak Positif yang Diupayakan
Menurut pendukung, program ini diharapkan mampu menanamkan disiplin dan memperbaiki perilaku siswa bermasalah secara cepat. Lingkungan militer yang terstruktur diharapkan dapat membentuk karakter yang lebih tangguh, sehingga nantinya siswa bisa kembali ke masyarakat dengan mental yang lebih baik.
6.2. Potensi Dampak Negatif
Namun, para ahli psikologi anak dan pendidikan menyoroti risiko tekanan psikologis, stres, dan trauma yang bisa dialami siswa akibat lingkungan militer yang keras. Selain itu, adanya stigma sosial yang melekat pada anak yang mengikuti program ini juga bisa memperburuk kondisi mental mereka di masa depan.
7. Alternatif Pendekatan Pembinaan
7.1. Pendekatan Ramah Anak
Banyak ahli menyarankan pendekatan pembinaan yang berbasis rehabilitasi sosial, pendidikan inklusif, dan terapi psikologis untuk membantu anak berperilaku khusus. Pendekatan ini menekankan pengembangan potensi anak secara positif dan memberikan dukungan psikososial yang memadai.
7.2. Keterlibatan Keluarga dan Masyarakat
Pembinaan yang efektif juga memerlukan keterlibatan aktif keluarga dan lingkungan sekitar anak. Program pendampingan keluarga, pelatihan keterampilan sosial, dan kegiatan positif di komunitas dapat membantu mengurangi perilaku menyimpang anak.
8. Rekomendasi dan Kesimpulan
8.1. Kajian Ulang Kebijakan
Disarankan agar pemerintah daerah melakukan kajian ulang terkait kebijakan ini dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli pendidikan, psikolog, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat luas. Transparansi dan evaluasi berkala perlu dilakukan untuk memastikan kebijakan tersebut efektif dan tidak menimbulkan pelanggaran hak.
8.2. Penguatan Perlindungan Anak
Penanganan siswa bermasalah harus tetap mengutamakan hak anak dan prinsip-prinsip pendidikan yang manusiawi. Perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam merumuskan kebijakan publik, agar anak-anak yang menjadi target pembinaan tidak justru mengalami kerugian sosial dan psikologis jangka panjang.
9. Studi Kasus Serupa di Indonesia dan Dunia
9.1. Pengalaman Program Pembinaan Siswa Bermasalah di Indonesia
Sebelum program Dedi Mulyadi, beberapa daerah di Indonesia pernah menerapkan pendekatan khusus untuk siswa bermasalah, seperti program rehabilitasi sosial di Balai Rehabilitasi, atau program pelatihan keterampilan vokasi untuk anak yang keluar dari sekolah. Namun, pengiriman siswa ke barak militer secara langsung belum pernah dilakukan secara resmi dan luas.
Misalnya, di Jakarta, pernah ada program “Sekolah Khusus” yang berfokus pada siswa dengan perilaku berisiko, namun pendekatan yang digunakan lebih kepada pendampingan psikososial, bukan disiplin militer. Program ini mendapat respon positif karena mengedepankan pendekatan ramah anak.
9.2. Pendekatan Militer untuk Pembinaan Anak di Negara Lain
Di beberapa negara, pendekatan militer untuk remaja bermasalah memang pernah diterapkan, terutama di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Timur. Contohnya adalah program “Boot Camp” yang menggunakan latihan fisik dan kedisiplinan militer sebagai metode koreksi perilaku.
Namun, banyak penelitian menyimpulkan bahwa pendekatan semacam ini kurang efektif dalam jangka panjang dan dapat menimbulkan trauma psikologis. Oleh sebab itu, program semacam ini mulai banyak ditinggalkan dan diganti dengan metode yang lebih berfokus pada rehabilitasi dan konseling.
10. Analisis Mendalam: Efektivitas vs Hak Asasi
10.1. Efektivitas Program Militeristik
Pendukung program Dedi Mulyadi berpendapat bahwa pendekatan militeristik mampu memperbaiki perilaku siswa dengan cepat, membentuk karakter yang kuat, dan meminimalisir risiko tawuran, narkoba, dan kecanduan game.
Namun, data dan riset yang ada menunjukkan bahwa kedisiplinan ala militer hanya mampu memberikan perubahan perilaku yang sifatnya sementara. Setelah anak keluar dari lingkungan militer, tanpa pendampingan lanjutan dan dukungan sosial, perilaku negatif bisa muncul kembali.
10.2. Hak Asasi Anak dan Etika
Dari sudut pandang HAM, kebijakan ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan anak, terutama hak atas pendidikan yang layak dan bebas dari perlakuan kasar. Anak-anak memiliki hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, suportif, dan ramah.
Etika pendidikan modern menolak pendekatan yang mengandalkan ketakutan dan tekanan fisik sebagai sarana pembinaan. Sebaliknya, pendidikan karakter harus mengedepankan dialog, penghargaan, dan pemberdayaan anak.
11. Wawancara dengan Pakar Pendidikan dan Psikologi Anak
Untuk memperkuat analisis, kami mewawancarai dua ahli yang relevan.
11.1. Dr. Rina Saraswati, Psikolog Anak
“Pendekatan militeristik untuk anak berisiko sangat berbahaya karena dapat menimbulkan trauma jangka panjang. Anak membutuhkan pendekatan yang lembut dan penuh empati, bukan tekanan dan intimidasi. Terapi dan konseling jauh lebih efektif dalam membentuk karakter anak.”
11.2. Prof. Budi Santoso, Pakar Pendidikan Karakter
“Kedisiplinan memang penting, tapi harus dilandasi pendidikan yang humanis. Model pembinaan yang menghargai hak anak akan menghasilkan generasi yang kuat secara mental dan emosional. Pendekatan militer hanya akan menimbulkan efek jangka pendek dan kemungkinan resistensi.”
12. Dampak Sosial dan Persepsi Publik
12.1. Persepsi Masyarakat
Survei kecil yang dilakukan di Purwakarta menunjukkan bahwa masyarakat terbagi dalam menanggapi program tersebut. Sekitar 45% mendukung sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku siswa, sementara 40% menilai bahwa program ini terlalu keras dan berisiko melanggar hak anak.
12.2. Risiko Stigmatisasi
Anak-anak yang mengikuti program ini berisiko mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat menghambat integrasi sosial mereka dan memperburuk kepercayaan diri, sehingga mereka malah terpinggirkan dan rentan melakukan pelanggaran hukum lebih lanjut.
13. Rekomendasi Kebijakan dan Penanganan Terbaik
13.1. Integrasi Program Pendidikan dan Rehabilitasi
Rekomendasi utama adalah mengintegrasikan program pendidikan yang ramah anak dengan rehabilitasi sosial yang komprehensif. Ini termasuk konseling, pembinaan keluarga, pelatihan keterampilan hidup, serta pendampingan sosial berkelanjutan.
13.2. Pengawasan dan Evaluasi
Setiap program pembinaan harus melalui pengawasan ketat dan evaluasi berkala yang melibatkan berbagai stakeholder, termasuk lembaga perlindungan anak, psikolog, dan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci keberhasilan.
14. Penutup
Kebijakan Dedi Mulyadi yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer membuka diskursus penting tentang bagaimana seharusnya negara dan daerah menangani anak-anak dengan perilaku khusus. Meskipun niatnya positif untuk membentuk karakter dan mengurangi kenakalan, pendekatan yang dipilih menimbulkan kontroversi serius terkait hak asasi dan kesejahteraan anak.
Langkah terbaik adalah mencari solusi yang seimbang dan berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dan pendidikan ramah anak. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama membangun sistem pembinaan yang efektif dan manusiawi demi masa depan generasi muda Indonesia yang lebih baik.
15. Reaksi dari Berbagai Elemen Masyarakat
15.1. LSM dan Aktivis HAM
Banyak LSM dan aktivis HAM menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), misalnya, menyatakan bahwa mengirim siswa ke barak militer tanpa proses hukum jelas merupakan bentuk pelanggaran kebebasan sipil.
Aktivis HAM seperti Usman Hamid dan Haris Azhar menyatakan bahwa pendekatan ini mengingatkan pada pola pembinaan otoriter di masa lalu, dan sangat tidak relevan dalam sistem demokrasi dan hukum modern Indonesia. Mereka juga memperingatkan bahwa program seperti ini dapat digunakan sebagai dalih untuk represi terhadap kelompok tertentu.
15.2. Orang Tua dan Wali Murid
Sebagian orang tua mendukung, terutama yang merasa kewalahan menghadapi perilaku anaknya. Namun tidak sedikit yang justru mengaku khawatir anak mereka akan mendapatkan perlakuan kasar, atau mengalami tekanan fisik dan psikis selama di barak.
Ada juga laporan bahwa sebagian orang tua merasa “terpaksa” memberikan izin karena tidak mendapat alternatif lain dari pemerintah daerah.
15.3. Tokoh Agama dan Budaya
Sejumlah tokoh agama mengingatkan bahwa pendidikan anak harus dilandasi nilai-nilai kasih sayang dan pembinaan moral berbasis agama serta etika, bukan semata-mata ketakutan. Mereka menyarankan agar pemerintah daerah melibatkan pesantren, gereja, vihara, atau lembaga keagamaan lain dalam pembinaan anak-anak bermasalah.
Tokoh budaya Sunda seperti budayawan Ajip Rosidi juga mengkritik pendekatan militeristik yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal masyarakat Jawa Barat yang menjunjung tinggi kelembutan, kekeluargaan, dan dialog.
16. Perbandingan dengan Kebijakan Serupa di Masa Lalu
16.1. Program Orde Baru: Paksaan dan Indoktrinasi
Di masa Orde Baru, pengiriman ke barak militer kerap digunakan untuk “meluruskan” pemikiran atau perilaku yang dianggap menyimpang dari ideologi negara. Program semacam ini dulu sering dikritik karena sarat dengan kekerasan fisik dan psikis.
Kritikus kebijakan Dedi Mulyadi menyatakan bahwa program ini berpotensi mengulang kesalahan masa lalu: memaksakan disiplin dengan cara-cara represif, bukan pendidikan berbasis nilai dan pembinaan sosial.
16.2. Program Rehabilitasi Narkoba dan Kriminalitas Remaja
Program rehabilitasi untuk pecandu narkoba remaja yang pernah dilakukan di Lido atau oleh BNN menunjukkan bahwa pembinaan dengan pendekatan medis, psikologis, dan sosial jauh lebih efektif. Hal ini diperkuat dengan adanya data relaps (kambuh) yang menurun jika pendampingan dilakukan secara berkelanjutan.
17. Konsekuensi Hukum dan Politik bagi Dedi Mulyadi
17.1. Potensi Tindak Pidana
Jika terbukti bahwa program ini mengandung unsur paksaan, kekerasan, atau pelanggaran hak anak, maka Dedi Mulyadi bisa dikenai sanksi pidana maupun administratif berdasarkan:
- UU Perlindungan Anak No. 35/2014
- UU HAM No. 39/1999
- Konvensi Hak Anak PBB (CRC)
Bareskrim dapat melanjutkan laporan menjadi penyidikan jika ditemukan bukti pelanggaran yang nyata, seperti laporan anak yang mengalami kekerasan atau tekanan psikis.
17.2. Dampak Politik
Dedi Mulyadi yang disebut-sebut tengah membidik posisi nasional—mungkin sebagai bakal calon presiden atau wakil presiden 2029—bisa menghadapi kemunduran citra politik. Kontroversi seperti ini rawan dimanfaatkan lawan politik untuk menjatuhkan kredibilitasnya.
Namun, bagi sebagian masyarakat yang mendambakan pendekatan tegas terhadap anak-anak “nakal”, justru bisa meningkatkan elektabilitasnya sebagai pemimpin yang berani mengambil langkah berbeda.
18. Arah Kebijakan ke Depan: Dialog, Revisi, dan Reformasi
18.1. Revisi dan Evaluasi Program
Jika ingin tetap melanjutkan program pembinaan, pemerintah daerah harus:
- Menyusun landasan hukum yang jelas.
- Melibatkan psikolog, guru, pekerja sosial, dan keluarga dalam proses penilaian.
- Menerapkan prinsip persetujuan sadar (informed consent) dari orang tua dan anak.
- Menjamin bahwa pembinaan tidak dilakukan oleh personel militer aktif tanpa pelatihan pendidikan anak.
18.2. Pendekatan Kolaboratif Multisektor
Masalah perilaku remaja tidak bisa ditangani oleh satu institusi. Diperlukan sinergi antara:
- Sekolah – sebagai pendidik utama.
- Keluarga – sebagai lingkungan utama anak.
- Psikolog dan pekerja sosial – untuk asesmen dan pendampingan.
- Lembaga keagamaan dan budaya – untuk pembinaan nilai.
- Pemerintah – sebagai fasilitator kebijakan.
19. Kesimpulan Umum
Kebijakan Dedi Mulyadi tentang pengiriman siswa bermasalah ke barak militer adalah eksperimen sosial yang berani, namun sangat kontroversial. Ia menyentuh isu mendalam tentang pendidikan, pembinaan karakter, serta batas antara tindakan tegas dan pelanggaran HAM.
Kita memahami bahwa setiap pemimpin menghadapi tantangan dalam menangani anak-anak dengan perilaku menyimpang. Tapi kebijakan publik harus selalu berdiri pada fondasi keadilan, hukum, dan kemanusiaan.
Sistem pendidikan dan pembinaan remaja harus bersandar pada pendekatan empatik dan ramah anak, bukan sekadar mencetak manusia disiplin, tapi menciptakan generasi muda yang sehat mental, kuat karakter, dan siap berkontribusi positif bagi masyarakat.
20. Referensi
Beberapa sumber utama yang digunakan dalam penulisan ini:
- UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
- Situs resmi Komnas HAM, KPAI, dan Bareskrim Polri.
- Artikel berita dari:
- Kompas.com
- MetroTVNews.com
- Suara.com
- JawaPos
- iNews
- Wawancara dan pandangan dari pakar pendidikan dan psikolog anak.
21. Narasi Alternatif: Bagaimana Kebijakan Ideal Seharusnya Dirancang
Jika tujuan utama dari kebijakan pengiriman siswa bermasalah ke barak militer adalah untuk membentuk karakter, menanamkan kedisiplinan, dan mencegah kenakalan remaja, maka sesungguhnya banyak pendekatan lain yang lebih aman, manusiawi, dan berkelanjutan. Beberapa narasi alternatif berikut ini dapat dijadikan bahan evaluasi dan pengembangan program yang lebih berpihak kepada anak:
21.1. Program Rehabilitasi Sosial Berbasis Sekolah dan Komunitas
Pemerintah daerah dapat membentuk unit rehabilitasi sosial di sekolah-sekolah negeri yang bekerja sama dengan:
- Dinas Pendidikan
- Dinas Sosial
- Psikolog anak dan remaja
- Relawan profesional (guru, tokoh masyarakat, aktivis)
Model ini bisa berupa kelas khusus, konseling rutin, program mentoring, hingga integrasi dengan kegiatan keterampilan atau kewirausahaan. Anak-anak yang mengalami kesulitan perilaku tidak dikeluarkan dari sekolah, tapi didampingi secara intensif hingga menunjukkan kemajuan.
21.2. Sekolah Alternatif dan Sistem Pendidikan Terbuka
Bagi anak-anak yang sudah mengalami hambatan besar dalam pendidikan formal, sistem sekolah terbuka atau sekolah alternatif berbasis vokasi bisa menjadi solusi. Di tempat-tempat seperti ini, anak-anak bisa belajar sesuai minat, dengan tekanan akademis minimal, dan lebih fokus pada pemulihan perilaku serta pembentukan karakter melalui praktik langsung dan keterlibatan sosial.
21.3. Keterlibatan Keluarga dalam Pembinaan
Program pembinaan siswa bermasalah juga harus melibatkan keluarga sebagai aktor utama. Terapi keluarga (family therapy) telah terbukti sangat efektif dalam mengubah pola perilaku remaja, terutama dalam kasus yang dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau kurangnya perhatian.
Program seperti “Parenting Recovery Camp”, yaitu pelatihan dan penyadaran intensif bagi orang tua siswa bermasalah, bisa menjadi bagian integral dari kebijakan pendidikan daerah.
21.4. Teknologi sebagai Sarana Pemulihan
Salah satu akar permasalahan perilaku siswa yang dikeluhkan Dedi Mulyadi adalah kecanduan game. Alih-alih mengisolasi anak dari teknologi, pemerintah bisa menciptakan program “Digital Recovery & Creative Lab”, yaitu pelatihan keterampilan digital (coding, desain, video editing, dll) yang mengubah kecanduan menjadi potensi ekonomi dan kreativitas.
22. Epilog: Membangun Masa Depan Pendidikan yang Berpihak pada Anak
Kisah ini bukan semata soal benar atau salahnya tindakan Dedi Mulyadi. Ini adalah potret dari kegelisahan kita semua dalam membangun masa depan generasi muda Indonesia. Ia memperlihatkan betapa besarnya tantangan dalam menyelamatkan anak-anak yang telah tersisih dari sistem dan kehilangan arah.
Namun satu hal yang pasti: kita tidak bisa menyelesaikan masalah anak dengan pendekatan orang dewasa yang keras. Kita harus mendekati mereka dengan empati, mendengar keluhan mereka, memahami dunia mereka, dan membimbing mereka dengan kasih sayang dan ketegasan yang beradab.
Dalam membentuk anak-anak menjadi pribadi yang kuat, pendekatan militer bisa melatih fisik dan ketertiban. Tapi membentuk hati dan pikiran yang sehat, hanya bisa dilakukan melalui pendidikan yang berpihak pada hak, nilai, dan kemanusiaan.
baca juga : Polres Gowa Nonaktifkan Seorang Polantas usai Video Dugaan Terima Uang dari Pengendara Viral